Rabu, 21 Juli 2010

"Berapa gaji papa?"

[Tulisan ini bukan mengajarkan kita menjadi materialistis, melainkan untuk merenungkan arti penting keluarga, terutama bagi anda yang sudah berkeluarga]

Seperti biasa Saefullah, Kepala Cabang di sebuah perusahaan swasta terkemuka di Bogor tiba di rumahnya pada pukul 9 malam. Tidak seperti biasanya, Dian, putri pertamanya yang baru duduk di kelas tiga SD membukakan pintu untuknya. Nampaknya ia sudah menunggu cukup lama.

“Kok, belum tidur ?” sapa Saefullah sambil mencium anaknya.
Biasanya Dian memang sudah lelap ketika ia pulang dan baru terjaga ketika ia akan berangkat ke kantor pagi hari.

Sambil membuntuti sang Papa menuju ruang keluarga, Dian menjawab, “Aku nunggu Papa pulang. Sebab aku mau tanya berapa sih gaji Papa?” “Lho tumben, kok nanya gaji Papa? Mau minta uang lagi, ya?”
“Ah, enggak. Pengen tahu aja” ucap Dian dengan singkat.

“Oke. Kamu boleh hitung sendiri. Setiap hari Papa bekerja sekitar 10 jam dan dibayar Rp400.000,-. Setiap bulan rata-rata dihitung 22 hari kerja. Sabtu dan Minggu libur, kadang Sabtu Papa masih lembur. Jadi, gaji Papa dalam satu bulan berapa, hayo?”

Dian berlari mengambil kertas dan pensilnya dari meja belajar, sementara
Papanya melepas sepatu dan menyalakan televisi. Ketika Saefullah beranjak menuju kamar untuk berganti pakaian, Sarah berlari mengikutinya.

“Kalo satu hari Papa dibayar Rp400.000,- untuk 10 jam, berarti satu jam Papa digaji Rp40.000,- dong” katanya.

“Wah, pinter kamu. Sudah, sekarang cuci kaki, tidur” perintah Saefullah. Tetapi Dian tidak beranjak. Sambil menyaksikan Papanya berganti pakaian, Dian kembali bertanya, “Papa, aku boleh pinjam uang Rp5.000,- enggak?”

“Sudah, nggak usah macam-macam lagi. Buat apa minta uang malam-malam begini? Papa capek dan mau mandi dulu. Tidurlah!”

“Tapi Papa…”

Kesabaran Saefullah pun habis. “Papa bilang tidur!” hardiknya mengejutkan Dian. Anak kecil itu pun berbalik menuju kamarnya.

Usai mandi, Saefullah nampak menyesali hardiknya. Ia pun menengok Dian di kamar tidurnya. Anak kesayangannya itu belum tidur. Dian didapati sedang terisak-isak pelan sambil memegang uang Rp15.000,- di tangannya.

Sambil berbaring dan mengelus kepala bocah kecil itu, Saeful berkata,
“Maafkan Papa, Nak, Papa sayang sama Dian. Tapi buat apa sih minta uang malam-malam begini? Kalau mau beli mainan, besok kan bisa. Jangankan Rp5.000,- lebih dari itu pun Papa kasih” jawab Saefullah.

“Papa, aku enggak minta uang. Aku hanya pinjam. Nanti aku kembalikan kalau sudah menabung lagi dari uang jajan selama minggu ini”.

“lya, iya, tapi buat apa?” tanya Saeful dengan lembut.

“Aku menunggu Papa dari jam 8. Aku mau ajak Papa main ular tangga. Tiga puluh menit aja. Mama sering bilang kalo waktu Papa itu sangat berharga. Jadi, aku mau ganti waktu Papa. Aku buka tabunganku, hanya ada Rp15.000,- tapi karena Papa bilang satu jam Papa dibayar Rp40.000,- maka setengah jam aku harus ganti Rp. 20.000,-. Tapi uang tabunganku kurang Rp5.000,- makanya aku mau pinjam dari Papa” kata Dian polos.

Saefullah pun terdiam. Ia kehilangan kata-kata. Dipeluknya bocah kecil itu erat-erat dengan perasaan haru. Dia baru menyadari, ternyata limpahan harta yang dia berikan selama ini, tidak cukup untuk “membeli” kebahagiaan anaknya.

Para Ayah (atau para calon orang tua), jangan Lupa, Anak anda adalah harta yang tak pernah bisa tergantikan nilainya!!! Maka, syukurilah kehangatan bersama keluarga dan jagalah keharmonisan bersama mereka.

Wallahu a'lam bish shawab

Tidak ada komentar:

Posting Komentar